Sabtu, 08 Januari 2011

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG KEADILAN TUHAN

KATA PENGANTAR
Keadilan Tuhan swt selalu berputar pada poros hikmah, termasuk dalam penciptaan manusia dimana salah satu bukti keadilan Tuhan swt adalah dengan memberikan syariat kepada manusia untuk membantu manusia meraih kesempurnaan penciptaannya.
Jika kita tengok kembali era kita saat ini dari sudut pandang ideologi, mazhab dan pandangan dunianya, khususnya bagi generasi muda adalah era kebimbangan dan krisis terhadap keyakinan ideal. Banyak rangkaian pertanyaan-pertanyaan baru bahkan pertanyaan-pertanyaan yang telah lama dilupakan muncul kembali akibat dari tuntutan zaman yang menimbulkan banyak keraguan. Lalu apakah harus kita sayangkan dan kita biarkan semua keraguan dan pertanyaan-pertanyaan tetang eksistensi diri dan pandangan dunianya tersebut?
Keraguan dan pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi dirinya adalah langkah awal untuk meraih keyakian. Akan halnya dengan keraguan adalah tempat pemberhentian sementara yang baik, dan tempat tinggal yang paling buruk, maka tidak ada yang perlu kita sayangkan dan justru perlu didukung. Islam sebagai agama yang paling gencar mengajak umat manusia untuk berpikir dan merenung, maka secara tidak langsung ia juga menjelaskan bahwa pada tahap awalnya manusia dalam keadaan tidak tahu atau ragu. Seorang bijak berkata: "Cukup menjadi manfaat dari kata-kata kami jika telah membuat kalian bertanya dan mencari hingga pada akhirnya kalian meyakini".
Sejarah mencatat pembahasan teologi Islam bermula pada setengah abad pertama Hijriah. Salah satu diantara pembahasannya yang paling tua adalah pembahasan tentang jabr (determinis) dan ikhtiar (non-determinis). Pada tahap awal masalah jabr dan ikhtiar adalah masalah manusiawi, dan pada tahap berikutnya merupakan masalah ketuhanan dan alam. Adapun merupakan masalah manusiawi, karena materi pembahasan kita adalah manusia, apakah manusia bebas berkehendak atau tidak? Dari sisi lain merupakan masalah ketuhanan dan alam, karena apakah ketentuan, kehendak, keinginan, qadha dan qadhar Tuhan, serta hukum kausalitas alam, memberikan kebebasan manusia berkehendak atau tidak? Karena masalah ini adalah masalah manusiawi, dan bagaimanapun juga masalah manusiawi sangat berhubungan erat dengan nasib manusia itu sendiri, maka sangat kecil kemungkinannya jika ada orang yang tidak pernah mempertanyakan masalah ini.
Makalah ini mencoba untuk mengetengahkan pembahasan tentang keadilan Tuhan dengan memperbandingkan pendapat berbagai aliran dalam Islam yang pernah muncul dalam sejarah.
1. Keadilan Tuhan Faham Muta’zilah
Soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan memberikan orang akan haknya . Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat Zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi upah kepada orang – orang yang patuh pada –Nya dan memberikan hukuman kepada orang – orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia. Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut al – Nazzam an pemuka – pemuka Mu-tazilah lainnya, tidak dapat dikatakan bahwa tuhan berdaya untuk bersifat zalim, berdusta dan untuk tidak dapat berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
2. Keadilan Tuhan Faham Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan – perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat semata – mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian adanya tendensi untuk meninjau dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya berarti “Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang”. Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil. Al-Ghazali juga berpendapat demikian. Ketika adilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar demikian. Ketidakadilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar hak orang lain dan jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian melanggar perintah itu. Perbuatan yang demikian mungkin ada pada Tuhan. Sekiranya ini dilakukan Tuhan, Tuhan tidaklah berbuat salah dan Tuhan tetap masih bersifat adil. Upah yang di berikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan, Tuhan tetap bersifat adil

3. Keadilan Tuhan Faham Maturidiyah
Faham Maturidiyah ini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro yang kedua golongan Maturidiyah di Samarkand. Golongan maturidiyah Bukhoro mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariyah. Menurut Al-Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hatin-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.
Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan persoalan tersebut tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetapi adalah perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya sendiri dan yang dilakukan bukan dengan paksaan, akan tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Bagi kaum Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham dengan kaum Asy’ariyah, maka persoalan itu pada dasarnya ada, akan tetapi faham masyi’ah dan ridha membebaskan golongan bukhara dari persoalan ini.
4. Perbandingan Antar Aliran Tentang Keadilan Allah
Mu’tazilah meninjau keadilan Allah dari sudut pendangan manusia, Keadilan erat kaitannya hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang dengan haknya, Allah itu adil mengandung pengertian bahwa segala sesuatu perbuatan Allah adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat buruk, bahawa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada manusia, oleh karena itu Allah tidak dapat bersifat zalim dalam memberikan hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya, tidak dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia, dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh pada-Nya, dan memberi hukuman kepada orang yang tidak patuh pada perintah-Nya, selanjutnnya keadilan juga mengandung arti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia dan memberi upah dan hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya.
Pendapat yang berseberangan dengan ini dikemukan oleh Asy’ariah yang mengartikan keadilan yaitu menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya dengan maksud Allah yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap segala seusatu yang dimilkinya dan mempergunakannyapun sesuai dengan kehendak dan pengetahui pemiliknnya yaitu Allah. Oleh Karena itu Allah dalam faham Asy’ariah dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, sungguh pun menurut pandangan manusia Allah tidak adil
Maturidiah Bukhara mengambil posisi yang lebih dekat dengan kepada posisi Asy’ariah Sedangkan Maturidiah Samarkand lebih mengambil posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah
Jadi jelaslah bahwa pada prinsipnnya pandangan mereka terhadap keadilan Allah sangat erat kaitannya dengan cara pandang mereka terhadap kebebasan manusia dalam bertindak bila dihadapkan dengan posisi Allah dalam setiap tindakan itu. Karenanya mu’tazilah dan Maturidiah samarkand memandang keadilan itu dari sudut dan posisi manusia, sedangkan Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara lebih mendekatkan pemahaman tentang keadilan Allah dari sudut otoritas Allah terhadap segala tindakan manusia.
5. Pandangan Asy'ariyyah dan Mu'tazilah tentang Keadilan dalam Karya-karya Muthahhari.
Dalam bukunya, (Suatu Pengantar kepada Ilmu-ilmu Islam), Muthahhari memandang bahwa sebenarnya tak satupun mazhab-mazhab Islam yang menolak keadilan sebagai salah satu sifat Ketuhanan. Tak satupun yang pernah mengklaim bahwa Tuhan itu zalim. Perbedaan antara Mu'tazilah dengan penentang-penentang mereka adalah mengenai interpretasi keadilan. Kalangan Asy'ariyah menafsirkan dengan sedemikian rupa yang maksudnya, dalam pandangan Mu'tazilah, nyaris merupakan suatu penyangkalan Sifat Keadilan. Akan tetapi, Asy'ariyah sendiri tidak bermaksud untuk dianggap sebagai para penentang keadilan.
Mu'tazilah percaya bahwa beberapa perbuatan pada prinsipnya "adil" dan sebagian lagi secara intrinsik "zalim". Umpamanya, memberi pahala kepada yang taat dan menghukum kepada pendosa adalah keadilan; dan Allah harus memberikan pahala kepada yang taat dan menghukum pendosa, dan mustahil bagi-Nya untuk berbuat sebaliknya. Memberi pahala kepada yang taat dan menghukum yang taat pada prinsipnya dan secara intrinsik adalah zalim, dan mustahil bagi Tuhan untuk melakukan perbuatan semacam itu. Dengan cara yang sama, memaksa kepada makhluk-makhluk-Nya untuk berbuat dosa, atau menciptakan makhluk tanpa kekuatan untuk melakukan kebaikan, pada saat yang sama menciptakan perbuatan-perbuatan dosa dari para pendosa dan kemudian menghukum mereka karena dosa-dosa mereka, yang berada di balik kekuatan mereka, tidak lain merupakan kezaliman, suatu hal yang buruk bagi Tuhan untuk melakukannya; itu tidak dapat dibenarkan dan tercela.
Akan tetapi, Asy'ariyah percaya bahwa tidak ada perbuatang yang secara intrinsik ataupun secara prinsip adil ataupun zalim. Keadilan pada prinsipnya apapun yang Tuhan lakukan. Jika seakan-akan Tuhan menghukum yang taat dan memberi pahala kepada pendosa, niscaya itu merupakan hal yang adil. Dengan cara yang sama, jika Tuhan menciptakan makhluk-makhluk-Nya tanpa kehendak apapun, kekuatan ataupun kebebasan tindakan, dan kemudian jika Ia menyebabkan mereka berbuat dosa dan menghukum mereka karena itu, ia bukan kezaliman esensial. Jika kita mengira bahwa Tuhan berbuat dengan cara ini, maka itu adil. Dengan demikian, menurut Asy'ariyah, keadilan ditentukan semata-mata oleh Kehendak dan Perbuatan Allah.
Dalam bukunya, The Philosophy of the Kalâm, H.A. Wolfson juga berpendapat bahwa karena ketegasan mereka (Mu'tazilah) atas kehendak bebas didukung oleh mereka dengan pijakan konsepsi khusus mereka tentang Keadilan Ilahi, dan penyangkalan mereka akan eksistensi terpisah Sifat-sifat Ilahi didukung oleh mereka dengan pijakan konsepsi khusus mereka tentang tauhid, maka Mu'tazilah dijuluki sebagai "para pembela keadilan dan tauhid" (ashhâb al-'adl wa al-tawhîd).8
6. Teologi Syi'i
Dalam iman Syi'ah, prinsip Keadilah Ilahi dinilai sebagai sala satu dari lima doktrin pokok. Menurut prinsip ini, keadilan merupakan Sifat Allah, yang identik dengan Zat-Nya. Adalah Allah yang adalah Pembuat hukum keadilan. Dalam hal ini, jika Allah menyertakan hukum-Nya sendiri, ini tidak dalam pengertian pembatasan Kekuasaan-Nya.Berdasarkan doktrin ini, mereka mengatakan bahwa menurut Keadilan Ilahi manusia semestinya bebas dan mampu berbuat berdasarkan kehendaknya, sebaliknya jika manusia tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya, dan akibatnya, ia tidak diberi pahala maupun dihukum. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa jika Allah tidak memberikan pahala kebajikan dan tidak menghukum kejahatan, berarti Ia zalim, yang itu adalah mustahil.
Dalam doktrin Syi'ah, kebebasan manusia merupakan konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi. Syi'ah, sebagaimana sebagian dari Asy'ariyah dan Mu'tazilah, berpendapat bahwa perbuatan manusia terdiri dari dua jenis : refleksif yakni tidak sengaja, dan dikehendaki atau dipilih. Tidak ada perselisihan berkaitan dengan perbuatan refleksif, karena perbuatan itu sifatnya instinktif dan manusia tidak mempunyai kendali atasnya. Namun, perbuatan yang dipilih manusia untuk dilakukan merupakan perbuatan sengaja. Dalam hal ini, manusia bisa berbuat dengan dua cara, karena ia bisa memilih di antara benar dan salah, baik dan buruk. Kita telah melihat bahwa Mu'tazilah percaya akan kebebasan total manusia berkaitan dengan perbuatan-perbuatan sengaja. Kebebasan ini disebut qadar atau tafwidh. Istilah tafwidh bermakna 'pendelegasian' atau 'pelimpahan wewenang'. Menurut sebagian Mu'tazilah, Allah telah mendeelagasikan kekuasaan kepada manusia dalam melakukan perbuatan baik ataupun jahat. Ini artinya bahwa kekuasaan selalu bersama manusia. Di pihak lain, murid Abu Al-Hasan Al-Asy'ari, Abu Bakar Al-Bâqillâni, seorang Mu'tazilah belakangan, percaya bahwa kekuasaan makhluk semata-mata Sifat Ilahi yang milik Tuhan, dan Dia adalah Pencipta segala jenis perbuatan. Tuhanlah satu-satunya yang memberikan kekuatan kepada manusia guna memilih antara perbuatan baik dan buruk, benar dan salah. Manusia hanya mempunyai kekuasaan yang terbatas. Doktrin ini disebut doktrin 'kasb'. Dengan cara ini, Mu'taziladh dan Asy'ariyah mengambil dua posisi yang ekstrem, sementara Syi'ah, menurut ajaran para Imam dari Keluarga Nabi, mengambil posisi tengah. Dalam konteks ini, Imam Ja'far Al-Shadiq (as.) berkata : Tidak ada determinisme ataupun kebebasan (mutlak), tetapi suatu kedudukan tengah-tengah.
Dalam Ushul Al-Kafi, dalam kitâb al-tauhid, ada bagian yang berjudul al-jabr wa al-qadar wa al-'amr bayn al-'amrayn. Penerjemah dan pensyarah Persia, Sayyid Jawâd Mushthafawi, telah mendefinisikan qadar sebagai sinonim dengan bahasa Arab lain yakni tafwîdh. Setelah menjelaskan doktrin determinisme dan kehendak bebas manusia, ia menulis :
Doktrin kebebasan atau 'amr bayn al-'amraini (perkara di antara dua perkara) membentuk kandungan dari seluruh hadis yang diriwayatkan di bagian ini dan semua hadis yang sampai kepada kita melalui para Imam Ahlul Bait. Dalam semua hadis ini jabar dan tafwidh (atau qadar) telah ditolak, dan dengan menolaknya suatu posisi tengah-tengah ('amr bayn al-'amrayn) diajukan; yakni, bahwa manusia bukanlah makhluk tiada kuasa dalam melakukan perbuatan apapun ibarat alat di tangan pekerja; tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan apapun atau membela dirinya sendiri, ataupun ia bukanlah makhluk yang sepenuhnya mampu melakukan perbuatannya secara independen, seakan-akan Tuhan tidak mempunyai kekuasaan atas perbuatannya. Dalam kenyataan, semua perbuatan ini saling berkaitan, di satu sisi dengan Tuhan, dan di sisi lain dirinya sendiri.




















PENUTUP
Dari penutup inilah penulis menyarankan agar pembaca dapat lebih teliti lagi dalam mambaca apa yang ada dalam makalah kami ini, dan apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian kami ini. dan dari pembahasan makalah ini dapat kami simpulkan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan keadilan tuhan di antara hal tersebut adalah:
Aliran Mu’tazilah
Mereka mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatannya..
Aliran Asy’ariah
Mengenai keadilan Tuhan mereka mengatakan bahwa Tuhan itu menempatkan sesuatu pada tempatnya, tetapi tuhan mempunyai kehendak mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dan itu semua adalah adil bagi Allah.
Aliram Maturidiyah
Maturidiyah Samarkand mengatakan bahwa Tuhan adil mengandung arti segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya, demikian dadapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tidak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya.














DAFTAR PUSTAKA
• Www.wordpress.com/.../perbandingan-aliran-tentang-dosa-besar-sifat-allah-perbuatan-manusia-dan-keadilan-allah/ - Tembolok
• Www.com/mutazilah-keadilan-ilahi.html - Tembolok - Mirip
• Www.blogspot.com/.../perbandingan-antara-aliran-kekuasaan.html - Tembolok - Mirip
• www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/005/21.html - Tembolok
• www.docstoc.com/docs/6369688/perbandingan-antar-aliran - Tembolok - Mirip
• HArun Nasution, Teologi Islam, penerbit Universitas Indonesia, Jakarta 2007,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar