Sabtu, 08 Januari 2011

EKSISTENSI NILAI PANCASILA DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Sehubungan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan ini kami menyerukan kepada seluruh warga dan semua pihak untuk mendorong wakil-wakil rakyat yang memperoleh amanat untuk bertugas di Lembaga Legislatif, juga pejabat negara yang memperoleh amanat untuk bertugas di Lembaga Eksekutif, untuk sesegera mungkin merencanakan dan menyusun Undang-Undang Tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Pancasila merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya di sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, yang untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila. Berbeda dengan rumusan yang di ajukan oleh Mr. Muhammad Yamin yang banyak kesamaannya dengan Pancasila yang kita ketahui sekarang ini, rumusan yang dibuat oleh Ir. Soekarno terlihat sangat berbeda, yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Pada rumusan yang dibuat oleh Ir. Soekarno, sila mengenai ke-Tuhanan ditempatkan pada sila kelima atau terakhir. Ir. Soekarno melihat sila ke-Tuhanan sebagai sebuah penutup untuk melengkapi. Beliau menyadari bahwa agama-agama yang berbeda di Indonesia juga bisa membawa benih perpecahan.
Sebagai penutup, sila ke-Tuhanan versi Ir. Soekarno berarti toleransi beragama, janganlah keempat sila sebelumnya tercerai-berai hanya karena pertikaian agama.
Rumusan yang ditawarkan oleh Ir. Soekarno dapat mengerucut menjadi hanya tiga sila yang disebut trisila, yang terdiri atas Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan. Bahkan dapat mengerucut lagi menjadi hanya satu sila yang disebut ekasila, yakni Gotong Royong.
Pada tanggal 22 juni 1945, sembilan tokoh nasional, yakni, Ir. Soekarno, Drs. Moh.Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoelkahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, K.H. Wachid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin yang tergabung dalam Dokuritsu Junbi Choosakai mengadakan pembahasan dan berhasil menelurkan sebuah rumusan baru mengenai Pancasila, yaitu:
1. Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3.PersatuanIndonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5.KeadilanSosialbagiseluruhRakyatindonesia


B. Pengertian Nilai
Nilai merupakan suatu kualitas yang telah ada dan dapat ditangkap dan dirasakan manusia sebelum mengalaminya dalam dunia inderawi. Kualitas nilai tidak tergantung pada pembawa nilai dan juga tidak tergantung pada reaksi/ tanggapan serta penilaian kita. Nilai tidak berubah seiring dengan perubahan pembawa nilai; nilai tidak berubah dan bersifat absolute. Nilai persahabatan tetap abadi sebagai nilai persahabatan meskipun dalam pelaksanaan ada pengkhianatan.
Nilai merupakan kompleks kualitas yang memiliki kesesuaian serta menjadi arah tujuan bagi kecenderungan kodrat manusia; selaras dengan kecenderungan kodrat manusia yang multi dimensional sehingga bagi kita manusia terdapat berbagai jenis nilai, misalnya: terkait dengan kedudukan kodratnya sebagai ciptaan Tuhan yang paling luhur, terdapat nilai ketuhanan, nilai keimanan, nilai religius; terkait dengan sifat kodratnya sebagai mahluk sosial, terdapat nilai persatuan, nilai persahabatan, nilai persaudaraan, nilai kerjasama; terkait dengan unsur kerohaniannya, terdapat nilai intelektual, nilai rasional, nilai kebenaran, nilai kebatinan, nilai kedamaian, nilai keamanan, nilai kebebasan, nilai kedaulatan; dan lain sebagainya.
Berdasarkan keanekaragaman bidang kehidupan manusia, dapat ditemukan berbagai bidang sebagai berikut: nilai kesehatan, nilai sosial ekonomi, nilai sosial politik, nilai pendidikan, nilai keagamaan. Berdasarkan langkah dan arah kegiatan mewujudkan nilai, terdapat 3 jenis nilai yaitu: nilai perantara (bonum utile), nilai sejati yang sesungguhnya, dan nilai kesenangan yang menyertainya (bonum delectabile).
Selain keanekaragaman nilai, terdapat suatu susunan hierarki nilai. hierarki nilai bersifat mutlak/ absolute dan mengatasi segala perubahan historis, serta membangun suatu system acuan yang absolute. Setiap nilai, baik yang telah kita ketahui maupun yang belum kita ketahui memiliki tempatnya masing- masing dalam hierarki nilai.
C. Nilai-nilai budaya dan peradaban modern
Di depan telah dikemukakan bahwa disain NKRI adalah negara modern, maka semua tata nilai modern yang bisa membawa kesejahteraan sosial seluruh rakyat bisa diterima. Namun demikian, sebagai negara dan bangsa berdaulat sudah barangtentu melakukan filter (pemilihan dan pemilahan) nilai-nilai mordernisasi tersebut. Pemfilteran terjadi bukan merupakan penerapan kebijaksanaan tata kelola pemerintahan saja, namun secara ‘alamiah adi kodrati’ akan dilakukan secara spiritual seluruh rakyat. Landsan pemikirannya, bahwa di jiwanya rakyat Indonesia telah tersemaikan ‘wiji spiritual Indonesia’ yang akan operasional secara alamiah untuk menangkal berkembangnya ide-ide yang tidak cocok dengan jatidiri Indonesia, Pancasila.
Alur pemikiran ini memang terkesan ‘nyleneh’ dan ‘jauh panggang dari api’. Namun bukti-bukti empiris terbukti di lapangan. Sebagai contoh, pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini boleh dikatakan sebagai loncatan kemajuan yang mencengangkan. Banyak pakar memperkirakan kita tidak mampu melaksanakan asas-asas demokrasi tersebut, ternyata kemudian Indonesia mampu melaksanakan sistim pemilu/pilkada langsung oleh rakyat dengan mulus. Hal ini membuktikan bahwa kita mampu menyelenggarakan tata kelola pemerintahan negara yang modern, demokratis.
Keberhasilan berdemokrasi tersebut mengindikasikan bahwa secara spiritual jiwa rakyat Indonesia benar-benar telah memiliki kesadaran bernegara secara modern. Maka sebenarnya kita sangat optimis tentang masa depan Indonesia. Kondisi yang sekarang dianggap terpuruk dan carut marut adalah kondisi sementara yang pasti berubah menuju tatanan yang paripurna sebagaimana dicitakan para pendiri bangsa kita.
Nilai-nilai budaya dan peradaban modern sebagai dampak globalisasi memang akan berpengaruh terhadap perubahan-perubahan sistim sosial kemasyarakatan. Namun dengan mengingat bahwa disain Indonesia sebagai negara modern yang berkesejahteraan sosial sudah secara spiritual menghuni jiwanya rakyat akan menumbuhkan optimisme untuk mampu mengelola berbagai pengaruh tersebut. Optimisme ini bertolak dari kenyataan bahwa nilai-nilai Pancasila, meski tidak banyak dibicarakan lagi, pada kenyataannya telah melekat dan menjadi naluri alamiah rakyat Indonesia secara spirituil. Alasannya, bahwa Pancasila bukan hasil rekayasa, tetapi digali dari bumi pertiwi Indonesia sendiri. Dalam hal ini pemakalah mewacanakan bahwa Pancasila memang ada di ‘gugus geo spiritual Indonesia’ dan manunggal dengan ‘wiji spiritual Indonesia’ yang melekat di jiwanya rakyat Indonesia.
Panunggalan ‘gugus geo spiritual Indonesia’ dengan ‘wiji spiritual Indonesia’ merupakan hubungan kosmis-magis adikodrati yang kendalinya ada kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Panunggalan tersebut yang digali Bung Karno saripati nilai-nilainya, kemudian dirumuskan sebagai Pancasila dan dijadikan dasar dan ideologi NKRI. Maka dengan demikian Pancasila merupakan ideologi yang paling tepat bagi bangsa Indonesia. Disamping sebagai ‘way of life’ dan ‘struggle for life’, juga merupakan benteng pertahanan untuk tetap menjaga eksisnya NKRI.
Pada saat ini banyak yang beranggapan bahwa Pancasila sudah ‘dilupakan’ dan perlu diganti dengan ideologi lain. Namun anggapan yang demikian sekedar tinjauan ranah lahiriah semata. Secara spiritual nilai-nilai Pancasila melekat erat di ruang batin seluruh rakyat Indonesia karena merupakan ideologi yang lahir dari suatu proses adikodrati. Kalau toh kenyataannya banyak upaya meninggalkannya, namun kita boleh yakin bahwa secara spiritual tak mungkin hilang dari sanubari terdalamnya seluruh rakyat Indonesia. Segencar apapun upaya ‘melindas’ dan ‘mengkooptasi’ dengan ideologi lain, maka rakyat Indonesia akan tetap teguh mempertahankan Pancasila di ruang terdalam batinnya. Semua ideologi lain yang dicobakan untuk mengganti bisanya hanya di lapis luar. Demikian pula nilai-nilai liberalisme produk modernisasi akan terjinakkan oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih kuat mengisi jiwanya rakyat Indonesia.
D. NILAI – NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PANCASILA
Selain pancasila memiliki nilai-nilai yang bersifat objektif, pancasila juga memiliki sifat-sifat yang subjektif, dalam arti keberadaan nilai-nilai itu bergantung pada bangsa Indonesia itu sendiri yaitu : Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa Indonesia, sebagai hasil penilaian dan pemikiran filsafat bangsa Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila merupakan Filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia yang paling sesuai yang diyakini oleh bangsa Indonesia sebagai petunjuk yang paling baik, benar, adil, dan bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai pancasila mengandung keempat macam nilai kerohanian, yang manifestasinya sesuai dengan sifat budi nurani bangsa Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila itu bagi bangsa Indonesia menjadi landasan atau dasar serta motivasi segala perbuatannya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan kenegaraan. Dengan kata lain nilai-nilai pancasila menjadi das sollen diwujudkan menjadi kenyataan (das sein).
Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memperjuangkan terwujudnya nilai-nilai pancasila itu dengan berbagai macam cara dan tahap yang akhirnya mencapai titik kulminasi yaitu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Proklamasi dengan demikian merupakan perwujudan pula dari nilai-nilai pancasila itu.
E. Cara Membangkitkan Pancasila Sekarang Ini
Nasionalisme yang merupakan identitas nasional yang dilakukan oleh negara melalui indoktrinasi dan memanipulasi simbol-simbol dan ritual yang mencerminkan supremasi negara tidak dapat dilakukan lagi. Negara bukan lagi sebagai satu-satunya aktor dalam menentukan identitas nasional. Hal ini juga seirama dengan semakin kompleksnya tantangan global, masyarakat merasa berhak menentukan bentuk dan isi gagasan apa yang disebut negara kesatuan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Sementara itu, perubahan paling mendasar terhadap UUD 45 adalah bagaimana prinsip kedaulatan rakyat yang pengaturannya sangat kompleks dalam sistem kehidupan demokrasi dapat dituangkan dalam suatu konstitusi. Hal itu harus dilakukan secara rinci dan disertai dengan rumusan yang jelas agar tidak terjadi multi interpretasi sebagaimana terjadi pada masa lalu. Upaya tersebut telah dilakukan dengan membuat amandemen UUD 45 antara lain yang berkenaan dengan pembatasan jabatan Presiden/Wakil Presiden sebanyak dua periode, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah secara langsung, pembentukan parlemen dua kamar (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah), pembentukan Mahkamah Konstitusi, pembentukan Komisi Yudisial, mekanisme pemberhentian seorang Presiden dan/Wakil Presiden dan lain sebagainya. Namun sayangnya perubahan tersebut tidak dilakukan secara komprehensif dan berdasarkan prinsip-prinsip konstitusionalisme sehingga meskipun telah dilakukan perubahan empat kali, ternyata UUD Tahun 1945 masih mengandung beberapa kekurangan.
Pengalaman selama lebih kurang setengah abad praktek-praktek kenegaraan yang menyeleweng dari Pancasila telah mengakibatkan berbagai tragedi bangsa harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang kembali. Akibat lain adalah ketertinggalan bangsa dibandingkan dengan negara-negara lain karena bangsa Indonesia selalu disibukkan dengan masalah-masalah internal bangsa seperti kesewenangan-wenangan penguasa, pelanggaran HAM, disintegrasi bangsa serta hal-hal yang tidak produktif lainnya sehingga tidak heran jika bangsa Indonesia kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Untuk bangkit dari keterpurukan tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia, pertama-tama dan terutama harus kembali kepada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa. Caranya adalah para pemimpin bangsa dan negara tidak hanya mengucapkan Pancasila dan UUD 45 dalam pidato-pidato, tetapi mempraktekkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan serta kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kesaktian Pancasila bukan hanya diwujudkan dalam bentuk seremonial, melainkan benar-benar bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Sejak negeri ini diproklamasikan sebagai negara merdeka, telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya, Pancasila harus terus hidup dalam kehidupam masyarakat, lebih optimal sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Pancasila harus menjadi perekat perbedaan kultur yang terbangun dalam masyarakat plural. Menjadi ideologi bersama oleh semua kelompok masyarakat, bisa juga dimaknai sebagai identitas nasional yang bisa menjadi media dalam menjembatani perbedaan yang muncul.
Sayangnya, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara tidak d ifungsikan secara maksimal, Pancasila tidak lagi mewarnai setiap aktivitas yang berlangsung di tengah masyarakat. Pancasila bahkan tidak lagi ramai dipelajari oleh generasi muda. Pengaruh kekuasaan orde baru yang menjadikan Pancasila sekedar sebagai ”simbol, ” dan upaya memperkuat kekuasaannya. Menjadikan sosialisasi P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila) hanya mampu menghasilkan generasi cerdas penghafal nilai-nilai Pancasila dan para penatar ahli. Selain tidak mampu mengamalkannya, justru mereka sendiri yang mencedrainya. Tidak heran jika peningkatan pengetahuan tentang Pancasila seiring dengan tidakan korupsi dan ramainya pelanggaran hak-hak kemanusiaan. Belum lagi implementasi demokrasi Pancasila sebagai icon orde baru, masih sangat jauh dari sistem demokrasi yang berbasis kedaulatan rakyat.
Tidak jauh beda dengan perilaku pemerintahan era reformasi. Pancasila dibiarkan tenggelam dari kehidupan masyarakat. Bukan hanya jauh dari wacana publik, Pancasila dianggap sebagai simbol orde baru semakin dilupakan oleh penguasa termasuk elit politik kita. Eforia demokrasi yang tidak terkendali juga semakin mengaburkan nilai-nilai Pancasila.
Realitas tersebut tentu sangat kontraproduktif dengan upaya penguatan Pancasila sebagai dasar negara. Lebih khusus lagi bagi upaya menjaga lestarinya NKRI di bumi persada. Kehadiran Pancasila tidak sekedar sebagai ideologi atau patron setiap warga negara, landasan bersama (common platform) atau sering juga disebut ‘kalimatun sawa’. Pancasila merupakan ”national identity” yang berperan mewadahi berbagai peredaan maupun konflik yang seringkali muncul dalam sub budaya nasional.




DAFTAR PUSTAKA

EMA.Agus Subhekti, Drs., M.Kes., M.Psi., dkk.
Mr. Muhammad Yamin Artikel dari Website : Kabupaten Banjarnegara
http://www.banjarnegarakab.go.id/.
Chainur Arrsjid, 2000, dasar-dasar ilmu hukum, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.
Darmoharjo, D & Shidarta, 1996. Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Sistem -Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada (Rajawali Pers)
Darmoharjo, D. & Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Notohamidjoyo, O., 1975. Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Wignodipoero Soerojo,1969, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Gunung Agung
www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar